Sosialita Wedhangan HIK

Sosialita Wedhangan HIK

HIK di Solo / foto : Junanto

Mampir ke Solo tanpa mampir ke wedhangan ibarat menatap langit tanpa bintang. Gelap tak berkelip. Hampa tak bernyawa. Di kota Solo, wedhangan atau penjaja HIK adalah nafas dan denyut nadi kehidupan malam. Menelusuri jalan di sepanjang kota, beragam jenis warung HIK bertebaran di pinggir jalan. Inilah kekhasan kota Solo yang tidak bakal kita temui di kota lainnya. Kalau Yogyakarta punya angkringan, maka Solo punya HIK.

HIK adalah penjual wedang (minuman panas) dan jajanan maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa lalu, pedagang hik memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Waktu saya kecil dulu, kalau ke rumah nenek di Solo, masih sering terdengar penjaja hik mengangkut pikulannya sembari berteriak “Hiiiik, Hiiik !”. Kalau penjaja HIK lewat, saya dan saudara-saudara berhamburan keluar dan memanggil pak Hik itu lalu bersosialita di jalan kampung. Kita pesan minum dan bereriungan di sekitar penjaja HIK ramai-ramai, sembari ngobrol ngalor ngidul. Asal mula nama HIK juga misterius. Tapi konon, katanya HIK itu singkatan dari Hidangan Istimewa Keluarga.

Sekarang, pedagang hik sudah jarang memikul dagangannya. Mereka memilih cara yang lebih praktis, yaitu mangkal di berbagai tempat. Beberapa di antaranya buka sejak sore, bahkan hingga pagi hari. Cocok buat “hang out” para pecinta kehidupan malam. Oleh karenanya, kalau ke Solo, mampirlah ke warung wedhang yang banyak di sana. Ada warung pak Min di depan Monumen Pers, ada Pak Wiryo di daerah Purwosari, ada Pak Gerok di Adisutjipto. Setiap orang tentu memiliki favorit HIK-nya masing-masing. Degustibus non est disputandum, kata pepatah latin. Selera memang tak bisa diperdebatkan.

Sajian HIK / foto : Junanto

Dan favorit saya adalah “Muji Rahayu” di jalan Veteran. Sajian penganannya sungguh menyenangkan dan menggiurkan. Begitu kita sampai ke tempat pak Muji, deretan penganan menyambut kita. Pilihlah dari berbagai sajian yang ada. Menu jagoannya adalah daging burung puyuh bakar. Rasanya, hmmmm … lezat. Daging burung puyuh ini begitu gurih dan lembut. Pilih juga sate kikil, sate usus, tempe bacem, tahu bacem, ati ampela, sate telor puyuh, babat dan beragam pilihan makanan lainnya. Anda akan dimanjakan oleh beragam pilihan tersebut.

Makanlah berbagai penganan tersebut dengan sego kucing, atau nasi kucing. Sego kucing adalah sajian nasi dalam bungkus kecil (seperti makanan kucing) yang dibumbui sejumput ikan bandeng dan sambal nan pedas. Cicipi bersama penganan yang tersedia, aduh rasanya mak, nyamleng tenang. Selain itu, yang spesial di Pak Muji adalah jajaran minumannya. Penggemar “ngombe-ngombe” (minum-minum) tak akan melewatkan racikan rasa “Teh Oplosan” dari “bartender teh” di sini. Teh Oplosan adalah khas teh nasghitel (panas legi kenthel) yang merupakan campuran dari berbagai merek teh kampoeng di Jawa. Ada The Gardoe, teh Gopek, teh Nyapu, teh Sintren, dll. Untuk komposisinya, rahasia perusahaan kata sang bartender. Cicipi rasanya? manis, kuentheel, ndeso, tapi mantap.

Coba juga wedang jahe – yang bisa dipesan dalam berbagai variasi rasa dan tampilan. Ada jahe tape, yang merupakan campuran jahe dengan beras tape. Rasanya hangat, manis, dan asam. Cocok sekali diminum di malam hari. Ada juga jahe coklat, tape susu, dan jahe orisinal. Soal harga, sungguh ajaib alias murah dan rendah inflasi. Penganan yang disajikan berkisar antara Rp 500 hingga Rp 5.000, sementara wedhangnya sekitar Rp 4.000. Murah harganya, nikmat rasanya. Hiiiiikkk Hiiiiikkk !!

Selamat berakhir pekan. Salam.

Sego Kucing / foto : Junanto

Burung Puyuh Goreng / foto : Junanto

Junanto

Sajian di Wedhangan / foto : Junanto


taken from:

http://wisata.kompasiana.com/group/jalan-jalan/2009/10/30/sosialita-wedhangan-hik/



Baca Juga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar