Tes Keperawanan vs Tes Keperjakaan

Isu tes keperawanan yang dikemukakan anggota DPRD Provinsi Jambi adalah bentuk politisasi tubuh perempuan. Pejabat yang mengeluarkan wacana seperti itu patut digugat dan diminta untuk mundur dari jabatannya.

"Jelas sekali bahwa mereka tidak kompeten dalam tugasnya dan mencari-cari kambing hitam untuk menutupi kegagalannya melaksanakan tugas," ujar Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Satria Dharma kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (28/9/2010).

Menurutnya, tak pantas pejabat negara memiliki cara berpikir sampai ke urusan paling pribadi tersebut. Tidak ada hubungannya antara masalah moral keperawanan dan akses pendidikan.

"Sesempit itukah imajinasi kita. Kalau tes keperawanan hendak dilakukan, maka saya menuntut tes keperjakaan dilakukan terlebih dahulu," ujarnya.

Satria mengandaikan, jika dirinya seorang perempuan, maka pencetus ide tersebut akan digugatnya habis-habisan. Ia bilang, si pencetus ide ini mungkin tidak tahu caranya mengetes keperawanan.

"Cari tahu lebih dahulu dan kemudian pikirkan apakah ia mau anak putri atau keluarganya diperiksa sedemikian rupa untuk mengetahui putrinya bermoral atau tidak," tegas Satria.

Menurutnya, tes keperawanan adalah upaya gila dan sama sekali tak ada hubungannya dengan kebutuhan siswa akan pendidikan, bahkan ajaran agama. Dia menegaskan, tidak ada agama yang menganjurkan uji atau tes keperawanan untuk menentukan seseorang bermoral atau tidak.

"Justru yang punya ide itu yang tidak bermoral. Siswi yang dites keperawanannya akan bisa mengalami trauma psikis yang berkepanjangan. Mengapa justru para pejabat hendak mencari dan membuka aib siswi-siswinya yang notabene adalah anak-anaknya sendiri?" tambah Satria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar